ULANDA.ID – Gorontalo bukan hanya sebuah wilayah, melainkan kisah hidup yang menenun warisan budaya Nusantara dalam setiap benangnya. Salah satu simbol paling kuat adalah Karawo, kain sulam tangan yang memancarkan nilai historis dan identitas perempuan Gorontalo.
Karawo: Simbol Identitas dan Kekayaan Budaya
Karawo bukan sekadar kain, melainkan representasi dari tradisi dan seni yang diwariskan lintas generasi. Dalam perhelatan Karnaval Karawo, keindahan budaya ini dipertontonkan kepada dunia, menyatukan generasi dan membuka mata dunia akan kekayaan Gorontalo.
Sejarah Panjang Karawo yang Berjuang Bertahan
Sebagai kain sulam tangan khas Gorontalo, Karawo sudah dikenal sejak abad ke-17. Namun, pada masa penjajahan Belanda tahun 1889, tradisi membuat Karawo—dikenal sebagai mokarawo—nyaris punah. Berkat upaya tersembunyi masyarakat setempat, seni ini berhasil dilestarikan dan kembali diperkenalkan ke publik pada tahun 1960.
Proses Pembuatan Karawo: Seni dan Kesabaran
Karawo terdiri dari dua jenis utama, yakni Karawo Manila dan Karawo Ikat. Karawo Manila dibuat melalui teknik sulam tangan dan sering digunakan untuk pakaian tradisional. Sementara itu, Karawo Ikat memakai metode ikat benang, biasanya diaplikasikan pada produk dekoratif seperti taplak meja dan sarung bantal.
Pembuatan Karawo membutuhkan ketelitian dan waktu yang tidak singkat, yaitu antara 4 hingga 30 hari, bergantung pada ukuran dan kerumitan motif. Tiga tahap utama dilakukan oleh pengrajin: pertama membuat pola di atas kertas, kemudian mengurai benang pada kain, dan terakhir menyulam motif dengan tangan ahli.