ULANDA.ID – Dua anggota DPRD Provinsi Gorontalo dari daerah pemilihan Boalemo–Pohuwato kembali menjadi sorotan publik. Bukan karena prestasi, melainkan skandal yang mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap wakil rakyat.
Kasus pertama menimpa Wahyudin Moridu, politisi PDI Perjuangan, setelah videonya viral saat melontarkan ucapan akan “merampok uang negara” lewat perjalanan dinas. Pernyataan itu menuai kritik luas, hingga membuat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP langsung mengambil langkah cepat dengan memberhentikannya dari keanggotaan partai.
Keputusan itu dinilai publik sebagai bentuk ketegasan partai dalam menjaga etika politik. PDIP memilih menyingkirkan kader yang dianggap mempermalukan rakyat, meski konsekuensinya kehilangan kursi di legislatif.
Berbeda dengan kasus yang menjerat Mustafa Yasin dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ia dilaporkan puluhan jamaah haji dan umrah karena diduga menipu dan menggelapkan dana perjalanan ibadah. Modusnya, jamaah diberangkatkan menggunakan visa kunjungan atau visa kerja, bukan visa haji resmi, sehingga banyak yang gagal melaksanakan wukuf di Arafah.
Bukti transfer, kesaksian korban, hingga laporan ke sejumlah kepolisian daerah telah masuk. Namun hingga kini Mustafa tetap duduk di kursi DPRD dan tetap mengelola usaha umrahnya.
Sikap PKS terhadap kasus ini dinilai berbeda jauh dari PDIP. Alih-alih memberi sanksi tegas, pernyataan yang muncul hanya sebatas normatif bahwa masalah sedang ditangani internal partai. Publik menilai PKS cenderung pasif, padahal partai tersebut dikenal dengan citra religius dan peduli umat.
“Kalau PDIP bisa tegas memecat kader yang bikin gaduh, seharusnya PKS juga memberi contoh dengan langkah serupa. Kasus ini bukan hanya soal etika, tapi ada dugaan tindak pidana yang merugikan jamaah,” ujar salah satu pengamat politik lokal.
Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Gorontalo sebelumnya berjanji akan memproses perkara ini secara transparan, tetapi hingga kini hasilnya belum terlihat jelas. Situasi tersebut menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat mengenai keberanian lembaga legislatif dalam menegakkan moral dan hukum di internalnya.
Bagi masyarakat, perbedaan sikap dua partai politik ini menegaskan kontrasnya standar etika yang diterapkan. PDIP dipandang lebih tegas menyingkirkan kader yang melukai hati rakyat, sementara PKS dianggap lamban bahkan cenderung melindungi kader yang menghadapi tuduhan serius.
Publik kini menanti, apakah aparat penegak hukum akan berani membawa kasus Mustafa ke meja hijau, atau membiarkannya berhenti di ranah politik.