ULANDA.ID — Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik (Diskominfotik) Provinsi Gorontalo kembali menuai kritik. Setelah sebelumnya disorot Komisi I DPRD Provinsi Gorontalo, kini giliran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat yang menyayangkan tidak dialokasikannya anggaran untuk Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) dan Komisi Informasi Publik (KIP) Gorontalo dalam Rancangan APBD 2026.
Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, menilai keputusan Pemprov Gorontalo melalui Diskominfotik sebagai bentuk kelalaian terhadap kewajiban konstitusional. Ia menegaskan bahwa sumber anggaran bagi KPID telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
“Seharusnya pemerintah daerah paham, KPID bukan lembaga opsional. Anggarannya wajib berasal dari APBD. Ini amanat undang-undang,” ujar Reza, Rabu (6/8/2025).
Menurut Reza, absennya dukungan anggaran mencerminkan pengabaian terhadap fungsi pengawasan penyiaran dan hak publik atas informasi berkualitas. Ia menegaskan bahwa situasi ini bisa melemahkan media lokal dan membahayakan kualitas penyampaian informasi kepada masyarakat.
Reza mengungkapkan, di Provinsi Gorontalo saat ini terdapat lebih dari 20 lembaga penyiaran swasta, 11 stasiun radio, satu lembaga penyiaran publik, serta tiga lembaga penyiaran komunitas. Semua entitas ini memerlukan pengawasan aktif dari KPID.
“Di provinsi lain, tidak terjadi hal serupa. Ironisnya, di tanah kelahiran saya sendiri, masalah alokasi anggaran untuk KPID dan KIP justru masih menjadi polemik,” ujarnya.
Ia menyebut, KPI Pusat telah melakukan audiensi awal dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Pada pertemuan berikutnya, isu Gorontalo akan dibawa secara resmi sebagai laporan kelembagaan.
Sebelumnya, anggota Komisi I DPRD Provinsi Gorontalo, Femmy Udoki, juga melontarkan kritik terhadap sikap Diskominfotik. Femmy menyayangkan tidak diusulkannya anggaran bagi KPID dan KIP dalam dokumen APBD Tahun Anggaran 2026.
“Ini bukan soal teknis. KPID dan KIP adalah lembaga negara yang jelas diatur dalam undang-undang. Pemerintah daerah wajib memfasilitasi,” tegas Femmy.
Ia mengacu pada UU Nomor 32 Tahun 2002 dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sebagai dasar hukum keberadaan dan pendanaan kedua lembaga tersebut.
Menurutnya, dalih keterbatasan anggaran sudah tidak relevan di tengah meningkatnya tuntutan transparansi publik. Ia bahkan menyebut keputusan Kominfo sebagai bentuk kelalaian serius dalam menjalankan amanat konstitusional.
“Kalau memang tidak ada niat baik dari Kominfo, lebih baik dibubarkan saja. Untuk apa bentuk lembaga kalau tidak didukung anggaran?” katanya dengan nada tegas.
Femmy juga menyoroti proses seleksi anggota KPID yang tetap digelar tanpa kejelasan dukungan anggaran. Hal itu dinilai membingungkan dan menunjukkan ketidaksiapan pemerintah.
Dalam rapat bersama Badan Anggaran DPRD dan Diskominfotik pada Selasa (5/8/2025), Komisi I secara resmi mengusulkan agar kebutuhan anggaran KPID dan KIP dimasukkan dalam APBD induk 2026.
“Kami akan kawal penuh agar kejadian ini tidak berulang. Jangan sampai lembaga strategis seperti KPID dan KIP mati suri karena abainya birokrasi,” ujar Femmy.
Keberadaan KPID dan KIP dinilai sangat penting dalam menjaga ekosistem penyiaran yang sehat dan keterbukaan informasi yang demokratis. Tanpa dukungan anggaran dari APBD, dua lembaga ini terancam lumpuh dalam menjalankan fungsinya.
Baik KPI Pusat maupun DPRD Provinsi Gorontalo sepakat bahwa pengabaian terhadap KPID dan KIP merupakan bentuk pelanggaran terhadap semangat reformasi informasi dan pengawasan media yang independen.