ULANDA. ID I Gorontalo Utara — Banjir kembali menghantam wilayah Kecamatan Monano, Gorontalo Utara. Air bah yang datang secara tiba-tiba pada malam hari menyebabkan puluhan rumah warga terendam, akses jalan lumpuh, dan lahan pertanian rusak parah. Namun yang paling mencolok dari bencana kali ini bukan hanya skala kerusakan—melainkan suara warga yang mulai berani bersuara lantang. Mereka bertanya keras: “Perusahaan mana tanggung jawabnya?”
Tak bisa dipungkiri, suara-suara sumbang soal keterlibatan aktivitas industri dalam kerusakan lingkungan Monano semakin menguat. Sudah lama masyarakat menduga bahwa banjir bandang yang makin sering terjadi bukan murni bencana alam. Ada tangan-tangan rakus yang dianggap ikut andil—khususnya perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah hulu, khususnya pada sektor pengelolaan hutan skala besar, yang dalam hal ini penebangan hutan secara ilegal.
“Kami tidak bodoh. Hutan habis, anak anak sungai ditimbun, lalu sekarang air datang tak bisa dibendung. Lantas siapa yang bertanggung jawab,” ujar Hasan, salah satu warga Desa Monanano dengan nada geram.
Tebang di Hutan, Air di Dada
Warga menyebutkan bahwa beberapa perusahaan telah membuka lahan besar-besaran di kawasan pegunungan Monano. Aktivitas penebangan dan pengerukan tanah tanpa kajian lingkungan yang ketat diduga menjadi penyebab utama rusaknya daerah tangkapan air. Tanah kehilangan daya serap, dan saat hujan deras turun, air langsung mengalir ke permukiman tanpa hambatan.
Mirisnya, tidak ada satu pun pihak perusahaan yang muncul ke permukaan untuk memberikan klarifikasi, apalagi bantuan.
“Kita tidak melihat satu pun dari mereka yang turun ke lapangan. Mereka hanya datang saat mau buka lahan. Tapi ketika rakyat tenggelam, mereka hilang bagai hantu,” kata Haikal, aktivis lingkungan lokal.
Pemerintah Dianggap Lemah dan Tutup Mata
Tak hanya perusahaan, pemerintah daerah pun menjadi sasaran kritik keras. Masyarakat menilai pemerintah terlalu lunak, bahkan seolah-olah menjadi pelindung kepentingan investor, bukan penjaga keselamatan rakyat.
“Kami capek dengar janji. Di rapat bilang evaluasi, tapi kenyataannya tidak ada tindakan nyata. Apa gunanya punya dinas lingkungan hidup kalau tak bisa cegah kerusakan ini?” tegas Haikal Paramata.
Warga juga mempertanyakan dokumen-dokumen izin lingkungan dan analisis dampak lingkungan (AMDAL) dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi. Apakah benar sudah sesuai prosedur? Apakah ada pengawasan? Atau hanya sekadar formalitas untuk meloloskan kepentingan modal?
Tuntutan: Audit Lingkungan dan Pemulihan Segera
Kini masyarakat menuntut lebih dari sekadar bantuan sembako. Mereka menuntut audit menyeluruh terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah Monano. Mereka juga menuntut transparansi, data terbuka, dan keterlibatan warga dalam setiap kebijakan yang menyangkut lingkungan hidup mereka.
“Ini bukan sekadar musibah. Ini hasil dari keserakahan dan pembiaran. Kalau negara ini masih punya hati nurani, segera audit semua aktivitas perusahaan di sini dan cabut izinnya kalau terbukti merusak!” ujar Seorang Warga, pada unggahan vidio online.
Kesimpulan: Warga Sudah Muak
Banjir di Monano bukan hanya menenggelamkan rumah dan ladang, tapi juga kepercayaan warga terhadap pihak-pihak yang seharusnya melindungi mereka. Warga tidak lagi mau diam. Mereka menolak menjadi korban abadi dari permainan antara modal dan kekuasaan.
Jika tak ada langkah konkret dalam waktu dekat, bukan tidak mungkin perlawanan rakyat akan semakin membesar.
“Kami mungkin desa kecil, tapi kalau kami bangkit bersama, suara kami tak bisa dibungkam,” tutup haikal sambil menunjukkan lumpur yang masih menggenangi lantai rumahnya.(PresidenSyimalun/Ulanda.id)
**Klik Channel WhatsApp Ulanda.id untuk membaca berita pilihan menarik lainnya langsung di ponselmu.