Adveristing
Example 325x300
Opini

Tiga Tindakan Gubernur Gorontalo Berpotensi Langgar Hukum, Publik Desak Evaluasi

×

Tiga Tindakan Gubernur Gorontalo Berpotensi Langgar Hukum, Publik Desak Evaluasi

Sebarkan artikel ini

ULANDA.ID – Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail, kembali menjadi pusat sorotan tajam setelah rangkaian tindakan kontroversialnya diprotes oleh Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea, serta dikritisi tajam oleh aktifis sekaligus mahasiswa Magister Ilmu Hukum dari Universitas Negeri Gorontalo.

Polemik yang semula dianggap sebagai dinamika biasa antara dua pimpinan daerah kini berkembang menjadi isu hukum serius yang menyeret Gubernur ke dalam potensi pelanggaran multidimensi—mulai dari administrasi negara, tata kelola pemerintahan, hingga integritas pejabat publik.

Tiga isu utama mencuat dalam konflik ini. Pertama, adalah sikap Gubernur yang tidak merespons dua permintaan resmi Pemerintah Kota Gorontalo terkait pengantar Uji Kompetensi Jabatan Tinggi ASN. Kedua, penyaluran bantuan sosial secara langsung oleh Pemerintah Provinsi ke warga Kota Gorontalo tanpa koordinasi formal dengan pemerintah kota. Ketiga, dan yang paling disorot publik, adalah dugaan nepotisme dalam pencalonan menantu Gubernur sebagai Komisaris Bank SulutGo (BSG), bank daerah yang mengelola dana publik dalam skala besar.

Dalam pandangan Madya Tama S.Y. Failisa, ketiga tindakan tersebut bukan hanya mencederai norma etika dan kebiasaan birokrasi demokratis, tetapi juga membuka potensi pelanggaran hukum positif yang berlaku. Madya merujuk langsung pada Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, serta Peraturan Ombudsman RI No. 48 Tahun 2020 yang mengatur definisi dan standar maladministrasi.

Baca Juga :  Dari Marhaen Gorontalo, Kami Bertolak: Dukungan Penuh untuk Kongres GMNI XXII di Bandung

Ia menyatakan bahwa pengabaian permintaan yang telah diajukan dua kali oleh Pemkot telah memenuhi syarat sebagai tindakan maladministrasi dalam bentuk pengabaian kewajiban administratif.

Lebih jauh, dalam kasus penyaluran bansos tanpa koordinasi, Madya menjelaskan bahwa berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, penyaluran bantuan sosial harus melibatkan pemetaan kebutuhan warga melalui sistem data terpadu yang dikendalikan bersama antara pemerintah pusat, provinsi, dan kota/kabupaten.

Pelaksanaan bansos secara sepihak di wilayah Kota Gorontalo bukan hanya melanggar prinsip koordinatif, tetapi juga mengancam akurasi data penerima dan membuka ruang penyalahgunaan untuk kepentingan politik.

Namun yang paling mencolok dalam sorotan Walikota Gorontalo mengenai nepotisme dalam pencalonan Komisaris BSG yang dikabarkan merupakan menantu dari Gubernur sendiri. Madya menambahkan lagi bahwa Bung Karno pernah mengikhtiarkan tentang nepotisme kepada kita semua bahwa “kita hendak mendirikan negara semua buat semua, bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan atau golongan kaya, tetapi semua buat demua”.

Baca Juga :  Dari Marhaen Gorontalo, Kami Bertolak: Dukungan Penuh untuk Kongres GMNI XXII di Bandung

Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, POJK No. 55/2016 tentang Tata Kelola Bank, serta prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG), posisi komisaris harus bebas dari afiliasi keluarga pejabat publik aktif. Rekomendasi langsung dari kepala daerah kepada lembaga keuangan publik tempat pemerintah menjadi pemilik saham, dapat dianggap sebagai bentuk konflik kepentingan struktural.

Madya menambahkan, bila benar proses pencalonan komisaris tersebut pernah diusulkan secara administratif, maka Gubernur berpotensi melanggar kode etik dan administratif. Dalam konteks kebijakan publik dan hukum tata kelola, tiga persoalan ini mengindikasikan disfungsi koordinasi antarpemerintah daerah yang sistemik.

Tak hanya memperlihatkan ketimpangan dalam distribusi kewenangan, tetapi juga mencerminkan melemahnya prinsip checks and balances dalam administrasi daerah. Keengganan Gubernur untuk tidak merespon surat resmi Pemkot, pembiaran struktur birokrasi yang tidak sinergis, hingga keputusan personal dalam pengusulan Komisaris, adalah indikasi dari lemahnya etika penyelenggara negara dalam sistem presidensial terdesentralisasi seperti Indonesia.

Baca Juga :  Dari Marhaen Gorontalo, Kami Bertolak: Dukungan Penuh untuk Kongres GMNI XXII di Bandung

Menanggapi gelombang kritik yang terus menguat, Dinas Kominfo Provinsi Gorontalo sempat menegaskan bahwa tidak ada persoalan pribadi antara Gubernur dan Wali Kota. Namun publik menilai bahwa penegasan tersebut tidak cukup membantah substansi masalah hukum yang berkembang. Dalam banyak kasus di Indonesia, konflik administratif yang tidak ditangani secara hukum kerap berubah menjadi preseden buruk yang merusak tatanan otonomi daerah dan integritas ASN.

Madya mendesak lembaga terkait seperti Ombudsman RI, Komisi ASN dan Kementerian Dalam Negeri untuk turun langsung menyelidiki dugaan maladministrasi dan hubungan koordinatif antara gubernur dan wali kota terkait hal diatas.

“Jika ini tidak diungkap dan ditindak secara terbuka, maka akan muncul kesan bahwa hukum tidak berlaku untuk elite pemerintahan daerah, hukum hanya seperti jaring laba-laba yang hanya mampu menjaring serangga-serangga kecil. Kita butuh kepastian hukum, bukan klarifikasi politik,” tutup Madya dalam keterangannya.

**Klik Channel WhatsApp Ulanda.id untuk membaca berita pilihan menarik lainnya langsung di ponselmu.

Example floating