ULANDA.ID – Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Irawan, menyampaikan kritik tajam terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah. Menurut Irawan, keputusan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Putusan MK itu keliru. Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 secara eksplisit menyebutkan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun, termasuk untuk memilih anggota DPRD,” ujar Irawan di Jakarta, Sabtu (28/6/2025).
Ia menekankan bahwa revisi terhadap Undang-Undang Pemilu tidak memadai untuk menyikapi putusan tersebut. Legislator, menurutnya, harus melakukan koreksi secara menyeluruh melalui amandemen konstitusi.
“Mahkamah Konstitusi sudah terlalu jauh masuk ke wilayah legislasi dan teknis implementasi. Penataan sistem pemilu adalah bagian dari rekayasa konstitusi yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang,” kata Irawan.
Lebih lanjut, ia mempertanyakan dasar tafsir MK yang dianggap bertolak belakang dengan bunyi teks UUD 1945. Irawan menilai pemisahan pemilu seharusnya merupakan kebijakan yang ditentukan secara konstitusional oleh legislator.
Sikap Fraksi PDIP: Putusan MK Tak Bisa Diperdebatkan
Sementara itu, anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Deddy Sitorus, menilai putusan MK bersifat final dan mengikat. Ia mengaku tidak mempermasalahkan jika konsekuensinya adalah perpanjangan masa jabatan anggota DPRD.
“Mereka tidak mungkin menyalahgunakan kekuasaan. Namun, dasar hukum perpanjangan masa jabatan harus diperjelas karena masa jabatan DPRD diatur dalam UUD dan harus melalui pemilu,” kata Deddy.
Deddy juga mendorong agar masa jabatan kepala daerah turut diperpanjang daripada menunjuk Penjabat (Pj) Kepala Daerah. Menurutnya, penunjukan Pj bisa mengganggu stabilitas pemerintahan daerah.
“Penunjukan Pj berpotensi merusak siklus pemerintahan dan mengacaukan pemilu yang jujur dan adil. Itu sudah terbukti pada Pemilu 2024,” ujarnya.
Latar Belakang Putusan MK
Mahkamah Konstitusi sebelumnya memutuskan untuk memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah. Pemilu nasional akan diselenggarakan terlebih dahulu, diikuti pemilu daerah dengan jarak waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan.
Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan pada Kamis (26/6/2025). Putusan tersebut menyatakan bahwa Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
“Pemilihan kepala daerah dan anggota DPRD di seluruh Indonesia dilaksanakan paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden, Wakil Presiden, dan anggota legislatif pusat,” ujar Suhartoyo.
Putusan ini berdampak langsung pada jadwal pemilu 2029 dan menuntut revisi besar-besaran terhadap perundang-undangan terkait sistem kepemiluan di Indonesia.