ULANDA.ID – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita dua senjata api dan uang tunai senilai Rp2,8 miliar dalam penggeledahan di rumah pribadi Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sumatera Utara nonaktif, Topan Obaja Putra Ginting (TOP). Penggeledahan dilakukan dalam rangka penyidikan dugaan korupsi proyek jalan senilai ratusan miliar rupiah.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyampaikan, uang tunai tersebut ditemukan dalam 28 pak dengan nilai total sekitar Rp2,8 miliar. Penggeledahan dilakukan di salah satu rumah milik Topan Ginting sebagai bagian dari pengembangan kasus dugaan korupsi di Dinas PUPR Sumatera Utara.
“KPK akan mendalami asal muasal uang tunai tersebut, termasuk kemungkinan aliran dan tujuannya,” kata Budi Prasetyo saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Selain uang tunai, penyidik juga menyita dua jenis senjata api. Senjata pertama berupa pistol Beretta lengkap dengan tujuh butir peluru, sementara senjata kedua adalah senapan angin dengan dua pak amunisi.
“Terkait senjata api, KPK akan berkoordinasi dengan pihak Kepolisian untuk mendalami asal dan legalitas kepemilikannya,” ujar Budi.
KPK juga menggeledah Kantor Dinas PUPR Sumut dan menyita sejumlah dokumen penting. Dokumen-dokumen tersebut dinilai relevan dalam penyidikan dugaan suap proyek pembangunan jalan yang ditangani Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (Satker PJN) Wilayah I Sumatera Utara.
“KPK masih terus melakukan penelusuran di lokasi-lokasi lain guna memperkuat bukti yang sudah dikumpulkan,” tegas Budi.
Kasus dugaan korupsi ini terbagi dalam dua klaster, dengan total nilai proyek mencapai Rp231,8 miliar. Klaster pertama mencakup proyek preservasi dan rehabilitasi Jalan Simpang Kota Pinang–Gunung Tua–Simpang Pal XI dari tahun anggaran 2023 hingga 2025. Nilai total proyek dalam klaster ini mencapai Rp74 miliar.
Klaster kedua berkaitan dengan proyek di bawah Satker PJN Wilayah I Sumut, yakni pembangunan Jalan Sipiongot–batas Labuhanbatu Selatan senilai Rp96 miliar dan pembangunan Jalan Hutaimbaru–Sipiongot senilai Rp61,8 miliar.
Dalam perkara ini, M. Akhirun Efendi Siregar dan M. Rayhan Dulasmi Piliang diduga sebagai pemberi suap. Sementara penerima suap di klaster pertama adalah Topan Ginting dan Rasuli, dan untuk klaster kedua adalah Heliyanto.