ULANDA.ID – DPRD Provinsi Gorontalo menggelar rapat gabungan antara Komisi I dan Komisi IV bersama mitra kerja dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) serta pemangku kepentingan pendidikan, Selasa (8/7/2025). Rapat berlangsung di ruang Dulohupa DPRD Provinsi Gorontalo dan membahas upaya preventif terhadap praktik pungutan liar di lingkungan satuan pendidikan jenjang SMA/SMK.
Wakil Ketua DPRD Provinsi Gorontalo, La Ode Haimudin, menegaskan bahwa seluruh bentuk pungutan, termasuk pengadaan seragam oleh pihak sekolah, tidak dibenarkan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Penetapan harga seragam oleh pihak sekolah, apalagi mewajibkan pembayaran melalui sekolah, itu bukan kewenangan sekolah. Bahkan, saya menemukan beberapa sekolah yang menandatangani penetapan harga tersebut. Saya minta segera ditarik,” tegas La Ode.
Ia menambahkan, pengadaan pakaian seragam adalah tanggung jawab orang tua atau wali murid, sesuai dengan Permendikbud Nomor 22 Tahun 2020 tentang Pengadaan Pakaian Seragam dan Buku Teks Pelajaran di Sekolah Dasar dan Menengah.
“Kalau koperasi sekolah mau menjual seragam, silakan. Tapi tidak boleh sekolah ikut menetapkan harga dan mewajibkan pembelian. Orang tua bebas memilih, bisa beli sendiri sesuai kriteria,” jelasnya.
La Ode juga menyoroti praktik-praktik yang dinilai memberatkan orang tua murid, seperti penetapan tenggat waktu pembayaran dan larangan membayar secara mencicil. Ia mengingatkan agar sekolah tidak terjebak dalam aktivitas komersial yang melanggar hukum.
Terkait peran komite sekolah, La Ode menegaskan bahwa komite tidak diperbolehkan melakukan pungutan dalam bentuk apapun. Menurutnya, pungutan yang bersifat wajib dan mengikat hanya dapat dilakukan berdasarkan regulasi resmi.
“Jika ada ketentuan jumlah yang ditetapkan dan waktu pembayaran yang ditentukan, itu sudah masuk kategori pungutan. Komite hanya boleh menggalang dana sukarela, bukan memungut biaya dari orang tua,” ujarnya.
Ia juga menyinggung praktik di beberapa Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) yang dinilai melanggar ketentuan karena menerima dana dari orang tua dengan jumlah yang telah ditentukan. Hal ini, menurutnya, tetap tidak dibenarkan jika bersifat wajib.
“Sumbangan boleh, tapi harus bersifat sukarela. Misalnya, orang tua ingin menyumbang Rp50 ribu atau Rp20 ribu, itu sah. Tapi jika ditentukan nominal dan sifatnya wajib, itu tidak boleh,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, La Ode menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan. DPRD, kata dia, memahami keinginan sekolah untuk menyamakan seragam atau kebutuhan lainnya, namun hal itu tidak boleh menimbulkan beban tambahan yang memberatkan masyarakat.
Ia menutup dengan mengingatkan seluruh pihak agar tidak menjadikan sekolah sebagai ajang bisnis. DPRD akan terus mengawal agar pelaksanaan pendidikan berjalan sesuai dengan prinsip keadilan, keterbukaan, dan sesuai peraturan perundang-undangan.