Oleh: [Fian Hamzah]
Founder Forum Pemuda Gorontalo
Langkah Presiden Prabowo Subianto yang memberikan amnesti kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong menjelang peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia bukanlah sekadar kebijakan hukum biasa. Keputusan ini menyeruak ke tengah panggung politik nasional sebagai pesan yang dalam, bahkan mengguncang tafsir relasi kekuasaan yang selama ini tampak solid di permukaan.
Kebijakan pengampunan tersebut menjadi semacam titik balik yang menandai keberanian seorang kepala negara untuk menyatakan sikap: Indonesia tidak boleh lagi dikelola melalui rekayasa hukum.
Presiden yang Mengoreksi Warisan
Prabowo Subianto bukan pemimpin pertama yang menggunakan kewenangannya untuk memberikan amnesti atau abolisi. Namun, konteks dan momentum yang dipilih membuat keputusannya kali ini terasa berbeda. Di tengah berbagai tudingan bahwa hukum selama ini dijadikan alat kekuasaan, keputusan ini tampak sebagai koreksi strategis terhadap praktik masa lalu.
“Presiden Prabowo memperlihatkan bahwa ia berpihak pada hukum yang benar dan seadil-adilnya, bukan hukum yang dijadikan alat politik,” ujar Direktur Eksekutif Pusat Kajian Demokrasi Indonesia (PKDI), Andika Harahap.
Tak kalah tegas, Mahfud MD menyebut keputusan tersebut sebagai “langkah strategis untuk melawan penyanderaan politik melalui rekayasa hukum.” Sebuah penegasan bahwa masa politik yang digerakkan oleh ketakutan dan kriminalisasi kini tengah memasuki babak baru.
Tanda-tanda Retaknya Relasi Prabowo–Jokowi?
Tak bisa diabaikan, bahwa langkah ini menimbulkan interpretasi liar tentang hubungan antara Presiden Prabowo dengan pendahulunya, Joko Widodo. Apakah ini sekadar penegasan prinsip kenegarawanan, atau sinyal bahwa jalan politik keduanya mulai berpisah?
Amnesti kepada Hasto dan abolisi kepada Tom Lembong terjadi dalam konteks yang sensitif—saat tuduhan rekayasa kasus hukum terhadap keduanya masih hangat dalam ingatan publik. Dalam lanskap itu, keputusan ini tidak mungkin dianggap netral secara politik.
Indikasi lain juga terlihat dari pembatalan mutasi Letjen Kunto Arief Wibowo, putra dari tokoh senior militer Tri Sutrisno yang pernah menandatangani petisi pemakzulan Wapres Gibran. Dan tentu saja, keputusan mengejutkan untuk tidak melaksanakan upacara HUT RI ke-80 di IKN—tradisi yang selama ini dikawal ketat oleh Presiden Jokowi sejak 2024.
Rangkaian ini menguatkan dugaan bahwa Prabowo tengah menapaki jalur yang tak sepenuhnya sejalan dengan arah politik pendahulunya.
Politik atau Prinsip?
Bagi sebagian kalangan, langkah-langkah ini adalah ekspresi kenegarawanan. Bagi lainnya, ini adalah kalkulasi politik tingkat tinggi. Apapun itu, publik kini menyaksikan bagaimana kekuasaan tengah menegosiasikan ulang batas-batasnya sendiri—antara kepentingan, prinsip, dan citra.
Namun satu hal yang jelas, keputusan memberi amnesti dan abolisi ini membuka ruang diskusi yang lebih besar: tentang ke mana arah negara ini akan dibawa di bawah kepemimpinan Prabowo.
Apakah kita sedang menuju fase baru—di mana hukum kembali pada marwahnya sebagai pilar keadilan, bukan sebagai alat intimidasi politik?
Atau justru ini hanyalah awal dari pergeseran kekuasaan yang lebih kompleks, penuh intrik, dan kepentingan?
Menuju Kepemimpinan yang Lebih Legalistik?
Jika Prabowo mampu mempertahankan konsistensi kebijakan yang menjunjung supremasi hukum di atas loyalitas politik, maka ia tak hanya mengoreksi masa lalu, tetapi juga sedang menanam fondasi moral bagi generasi politik berikutnya.
Di tengah derasnya pusaran politik kekuasaan, keputusan seperti ini ibarat rem darurat: mengingatkan bahwa negara ini dibangun bukan untuk menjadi alat segelintir orang, tapi sebagai rumah hukum bagi semua.
Pertanyaannya: akankah Prabowo tetap berada di jalur ini?
Atau seperti pemimpin sebelumnya, akan tergoda untuk menjadikan hukum sebagai pelayan dari politik praktis?
Rakyat Indonesia kini menjadi saksi, sekaligus juri, atas babak baru perjalanan kepemimpinan nasional yang semakin sarat makna.
Catatan Redaksi: Opini ini adalah pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili sikap resmi redaksi.