ULANDA.ID – Di bawah langit senja yang membara, Alun-Alun Bone Bolango dipenuhi warga yang khidmat menyaksikan upacara penurunan bendera dalam peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia. Suasana penuh hormat ini semakin terasa ketika sosok Wakil Bupati Bone Bolango, Risman Tolingguhu, memimpin jalannya upacara sebagai Inspektur.
Sebelum berdiri di podium, Risman mengenakan helm tambang dan menyalakan lampu kepala, menyusuri lorong-lorong gelap perut bumi. Lahir pada 6 Oktober 1972, Risman bukan politisi elit, melainkan figur yang dibentuk kerasnya dunia pertambangan—di mana kerja keras adalah harga dari setiap mimpi.
Dalam perjalanan politiknya, ia menegaskan dirinya bukan sekadar pejabat formal, melainkan pemimpin yang lahir dari rakyat, seorang penambang dan pengusaha yang ingin kesejahteraan masyarakat Bone Bolango tercapai melalui kerja nyata.
Risman dikenal tidak hanya duduk di balik meja. Ia rutin turun ke desa-desa, meninjau jalan rusak, dan mendengar langsung keluhan masyarakat. Saat meninjau kondisi jalan di Kecamatan Tapa, ia menegaskan bahwa tugas pemimpin adalah mengabdi, bukan memperkaya diri sendiri.
Peringatan HUT RI ini bukan sekadar seremoni bagi Risman. Kehadirannya menjadi simbol bahwa kepemimpinan bisa lahir dari peluh rakyat, dan bahwa semangat merah putih dapat muncul dari kegelapan tambang, selama ada keberanian untuk bermimpi dan dedikasi untuk mengabdi.
Sebelumnya, Risman pernah membentangkan bendera sepanjang 1.000 meter di Pantai Modelomo sebagai wujud semangat persatuan. Hari ini, kehadirannya di Alun-Alun kembali menegaskan pesan itu—pemimpin sejati hadir dari rakyat dan tetap ingat jalan pulang.
Sebagai suami Gamaria Djura, Risman menunjukkan bahwa kemerdekaan bukan sekadar seremonial setiap 17 Agustus, melainkan panggilan untuk berkarya, melayani, dan menghadirkan perubahan nyata di tanah kelahiran.
Dari lorong tambang yang gelap hingga jalan desa yang sunyi, Risman membawa harapan dan cahaya kepemimpinan. Ketika bendera diturunkan perlahan di langit senja, langkahnya menjadi pengingat bahwa kepemimpinan lahir dari ketulusan, bukan kemewahan.
Di tengah bangsa yang merindukan pemimpin yang hadir dengan hati, Risman menegaskan bahwa pengabdian tidak memerlukan seragam mewah—cukup dengan kaki yang melangkah ke desa, tangan yang menyentuh rakyat, dan hati yang memahami akar sendiri.
Kisah Risman Tolingguhu mengajarkan bahwa kemerdekaan sejati muncul ketika anak bangsa berani kembali ke tanahnya, bukan untuk dipuja, melainkan untuk membangun. Dari tambang ke podium kenegaraan, Risman telah menjawab panggilan itu dengan kerja nyata, dedikasi, dan kepemimpinan merakyat.