ULANDA.ID (Tajuk) – Presiden RI Prabowo Subianto bersama pimpinan partai politik di parlemen mengambil langkah simbolis dengan membatalkan besaran tunjangan anggota DPR RI dan memberlakukan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri. Langkah ini lahir dari tekanan publik yang meningkat melalui demonstrasi di berbagai daerah.
Namun, upaya itu jelas belum memuaskan aspirasi rakyat. Massa aksi menegaskan bahwa pembatalan gaji DPR hanyalah langkah awal, sementara persoalan mendasar—yaitu pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset Koruptor—belum disentuh.
Sejak era pemerintahan sebelumnya, masalah ini sudah menjadi catatan panjang dalam penegakan hukum terhadap praktik korupsi di Indonesia.
Presiden dan pimpinan DPR memang berjanji membuka ruang dialog dengan masyarakat, mengundang tokoh-tokoh publik, mahasiswa, dan kelompok yang ingin menyampaikan aspirasi. Namun janji dialog tanpa tindakan konkret untuk menyelesaikan masalah hukum yang tertunda akan terlihat seperti simfoni formalitas tanpa substansi.
Pembatalan tunjangan DPR dan moratorium kunjungan kerja memang penting secara simbolis. Tapi masyarakat menuntut kepastian hukum dan solusi nyata. UU Perampasan Aset Koruptor bukan sekadar undang-undang; ia adalah instrumen penting untuk menegakkan keadilan, mengembalikan aset negara, dan menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi.
Langkah simbolis pemerintah hanya akan memiliki nilai jika diikuti dengan tindakan tegas: segera mengesahkan UU Perampasan Aset Koruptor. Rakyat menunggu bukan drama politik atau langkah kosmetik, tetapi keadilan dan kepastian hukum yang menyentuh akar masalah.
Sejatinya, pembatalan gaji DPR hanyalah secuil dari harapan publik. Momentum ini harus dimanfaatkan Presiden dan DPR untuk membuktikan bahwa mereka mampu menindaklanjuti aspirasi rakyat dengan keberanian dan ketegasan politik, bukan sekadar retorika semata.