Adveristing
Opini

Hukum Adat vs Tambang: Ancaman Konflik Jika Suara Pohuwato Diabaikan

×

Hukum Adat vs Tambang: Ancaman Konflik Jika Suara Pohuwato Diabaikan

Sebarkan artikel ini
Direktur LP3G Deno Djarai/Ulanda.id
Direktur LP3G Deno Djarai/Ulanda.id

Oleh: Deno Djarai

(Direktur Lembaga Pengawasan Program Pemerintah Gorontalo)

Aksi masyarakat adat Pohuwato yang akan “turun gunung” menolak dominasi tambang bukanlah peristiwa biasa. Ia adalah sebuah pernyataan keras bahwa pembangunan yang tidak adil, yang mengabaikan hak-hak dasar rakyat, tidak akan pernah mendapat legitimasi di tanah ini.

Tambang di Pohuwato sudah menembus ruang hidup warga: dari pegunungan, hutan, hingga belakang sekolah dan rumah penduduk. Realitas ini menunjukkan betapa rakusnya ekspansi pertambangan yang bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga menggerus ruang hidup generasi mendatang.

Masyarakat adat menolak karena mereka tahu bahwa tanah, air, dan hutan bukan sekadar komoditas. Itu adalah identitas, sumber penghidupan, dan warisan leluhur.

Baca Juga :  Amnesti dan Abolisi ala Prabowo—Tegas Menolak Rekayasa Hukum

Kehilangan itu berarti kehilangan kehidupan itu sendiri. Di titik inilah aksi damai mereka menjadi penting: ia adalah demokrasi partisipatif dalam wujud paling nyata.

Sayangnya, jalur formal penyelesaian konflik seringkali macet. Regulasi tidak ditegakkan, pengawasan lemah, dan negara tampak lebih berpihak pada kepentingan modal.

Maka aksi kolektif turun ke jalan, menduduki ruang publik, adalah jalan terakhir agar suara adat tidak tenggelam dalam bising mesin tambang.

Namun lebih dari sekadar unjuk rasa, ini adalah teguran keras. Hukum negara boleh saja diam, tetapi hukum adat tidak pernah mati. Jika aspirasi adat terus diabaikan, yang dipertaruhkan bukan hanya ketegangan sosial, melainkan krisis legitimasi terhadap pemerintah dan perusahaan.

Baca Juga :  Sosiologi Bencana di Gorontalo: Sejarah Gempa, Peringatan Tsunami, dan Lelucon yang Beresiko

Dalam tradisi adat, perlawanan bisa berwujud penutupan akses wilayah, ritual penguncian tanah, hingga penolakan total terhadap operasi tambang. Itu bukan simbol kosong, melainkan peringatan bahwa bumi sudah “dikutuk” oleh alam sendiri.

Jika dibiarkan, konflik di Pohuwato berpotensi menjadi bara yang menyala lebih luas: pecahnya gesekan horizontal, rusaknya stabilitas daerah, hingga lahirnya ketidakpercayaan rakyat pada negara. Lebih buruk lagi, ketika keseimbangan adat dilanggar, masyarakat percaya alam akan ikut bereaksi: banjir, longsor, gagal panen, dan bencana ekologis sebagai “hukuman” atas kerakusan manusia.

Baca Juga :  SPBU Mangkrak di Bonepantai Gorontalo, Nelayan dan Petani Menjerit Akibat Krisis BBM

Karena itu, pemerintah dan perusahaan harus belajar dari suara adat ini. Pembangunan dan eksploitasi sumber daya tidak boleh berjalan dengan mengorbankan keadilan sosial, kelestarian lingkungan, dan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat. Mengabaikan tuntutan ini sama saja dengan menyiapkan panggung konflik berkepanjangan.

Masyarakat adat Pohuwato sudah bicara. Pertanyaannya sekarang: apakah negara siap mendengar, atau tetap menutup mata hingga semua terlambat?

**Klik Channel WhatsApp Ulanda.id untuk membaca berita pilihan menarik lainnya langsung di ponselmu.

Example floating