ULANDA.ID – Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi membatalkan Peraturan Nomor 731 Tahun 2025 yang membatasi akses publik terhadap dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden. Keputusan pencabutan itu diambil pada Selasa, 16 September 2025, sehari setelah aturan tersebut menuai kritik luas di masyarakat.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin menyampaikan, lembaganya menarik aturan itu demi menjaga kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu.
“Akhirnya kami secara kelembagaan memutuskan untuk membatalkan,” kata Afifuddin dalam konferensi pers di Gedung KPU, Jakarta Pusat.
Sebelumnya, KPU menetapkan 16 jenis dokumen persyaratan capres-cawapres sebagai informasi yang dikecualikan dari akses publik. Dokumen itu antara lain surat keterangan kesehatan, laporan harta kekayaan, hingga ijazah.
Kebijakan tersebut diteken sejak 21 Agustus 2025, namun baru terungkap ke publik pada 15 September 2025. Keputusan itu memicu penolakan dari masyarakat, akademisi, dan pegiat pemilu karena dinilai melemahkan transparansi pemilu.
Selama ini, dokumen persyaratan seperti LHKPN, laporan pajak, maupun ijazah menjadi dasar publik menguji integritas dan rekam jejak calon presiden serta wakil presiden. Jika dokumen itu ditutup hingga lima tahun, ruang pengawasan publik berpotensi hilang.
Komite Pemilih Indonesia (TePI) menilai langkah KPU sebagai kemunduran serius. Koordinator TePI Jeirry Sumampow menyebut keputusan tersebut melanggar prinsip transparansi, akuntabilitas, kepastian hukum, dan partisipasi publik.
Jeirry juga mempertanyakan waktu terbitnya aturan yang muncul setelah Pemilu 2024. Ia menduga kebijakan itu berpotensi melindungi pihak tertentu.
“Kalau begitu, kami patut curiga siapa yang hendak dilindungi KPU—apakah pasangan calon yang menang, KPU sendiri, atau elite politik penguasa,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Ketua Komisi II DPR Muhammad Rifqinizamy Karsayuda turut mengkritisi keputusan KPU. Menurutnya, pembatasan dokumen seharusnya ditetapkan sebelum tahapan Pemilu 2024.
Ia menegaskan, dokumen persyaratan calon legislatif, calon presiden dan wakil presiden, maupun kepala daerah harus terbuka sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua KPU Mochammad Afifuddin meminta maaf kepada publik atas kegaduhan yang muncul akibat kebijakan tersebut.
“Kami dari KPU memohon maaf atas situasi keriuhan yang sama sekali tidak ada pretensi sedikit pun di KPU untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu,” ucap Afifuddin.