ULANDA.ID – Skandal dugaan pungutan liar (pungli) di MTs Muhammadiyah Kabila, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, kian menambah panjang daftar kasus serupa di dunia pendidikan. Praktik pemotongan dana Program Indonesia Pintar (PIP) yang seharusnya diterima penuh oleh siswa, diduga dilakukan secara sistematis dengan dalih biaya administrasi.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, pihak sekolah meminta pungutan sebesar Rp37.500 kepada setiap orang tua penerima bantuan, dengan alasan biaya materai dan tanda tangan administrasi. Ironisnya, pungutan itu bahkan ditarik sebelum bantuan cair.
“Kami diminta uang Rp37.500 untuk materai dan tanda tangan. Uang itu sudah disetorkan bahkan sebelum bantuan cair,” ungkap salah satu wali murid yang meminta identitasnya dirahasiakan, Jumat (29/8/2025).
Selain pungutan, orang tua murid juga diwajibkan menandatangani surat kuasa pencairan dana yang disodorkan pihak sekolah. Bahkan sebagian siswa mengaku dipaksa melunasi tunggakan SPP dan iuran pembangunan sebesar Rp25 ribu.
Kasus ini disebut bukan pertama kalinya. Pada pencairan PIP tahun 2024, pihak sekolah juga diduga memotong Rp50 ribu per siswa.
Berdasarkan Permendikbud No.10 Tahun 2020 serta petunjuk teknis PIP, dana bantuan pendidikan adalah hak penuh siswa penerima dan wajib diterima utuh 100 persen tanpa ada potongan.
“Surat kuasa pencairan yang dipaksakan sekolah termasuk cacat hukum. Prinsip hukum jelas, perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang batal demi hukum,” tegas Penanggung Jawab PIP Bone Bolango, Fajrin Djamil, mengutip Pasal 1320 dan 1335 KUHPerdata.
Skandal pemotongan dana PIP ini berpotensi masuk ranah pidana. Merujuk Perpres No. 87 Tahun 2016 tentang Saber Pungli, tindakan tersebut tergolong pungutan liar. Karena PIP bersumber dari APBN, praktik ini juga berpotensi dijerat pasal penggelapan (Pasal 372 KUHP) maupun tindak pidana korupsi sebagaimana diatur UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.
Meski orang tua diminta menandatangani surat kuasa atau pernyataan tidak keberatan, secara hukum hal itu tidak menghapus unsur pidana karena dianggap bentuk pemaksaan terselubung.
Media mencoba mengonfirmasi Ketua Yayasan Muhammadiyah Bone Bolango, Darwin Botutihe, terkait dugaan pungli tersebut. Namun mantan anggota Bawaslu itu hanya menyebut pihaknya sementara melakukan investigasi tanpa menjelaskan apakah investigasi dilakukan dengan memanggil kepala sekolah atau membentuk tim khusus.
Sikap tersebut memunculkan spekulasi di kalangan orang tua siswa yang menilai yayasan terkesan santai dan menganggap masalah ini sepele, padahal bukti pungutan dan surat kuasa sudah banyak dikantongi wali murid.
Sementara itu, Kepala MTs Muhammadiyah Kabila, Rahmawati Latama, menolak adanya pungutan yang membebani siswa penerima PIP. Ia menyebut persoalan tersebut telah diketahui yayasan sebagai pengelola sekolah.
Sejumlah orang tua mendesak pemerintah daerah, Dinas Pendidikan, hingga aparat penegak hukum agar segera menindaklanjuti dugaan pungli ini. Mereka berharap kasus serupa tidak kembali terjadi pada pencairan berikutnya.
“Dana ini hak anak-anak kami. Kalau terus dipotong, bagaimana bisa benar-benar membantu pendidikan mereka?” kata seorang wali murid.
Kasus dugaan pungli PIP di MTs Muhammadiyah Kabila kini menjadi ujian serius bagi komitmen pemerintah dalam menegakkan transparansi bantuan pendidikan dan memberantas praktik pungutan liar di sekolah.