Adveristing
Example 325x300
Berita

Gubernur Gorontalo Disorot: Paksa ASN Gunakan Akun Pribadi, Sanksi TPP Tuai Kecaman

×

Gubernur Gorontalo Disorot: Paksa ASN Gunakan Akun Pribadi, Sanksi TPP Tuai Kecaman

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Ai-Ratusan Pegawai saat menatap layar handphone/Ulanda.id
Ilustrasi Ai-Ratusan Pegawai saat menatap layar handphone/Ulanda.id

ULANDA.ID — Keputusan Gubernur Gorontalo Gusnar Ismail yang mewajibkan ASN menyebarkan informasi pemerintah melalui akun media sosial pribadi dengan ancaman penundaan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) dinilai telah melanggar sejumlah ketentuan hukum secara serius. Praktisi hukum dan kalangan pengamat menyebut kebijakan ini sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan kepala daerah yang berpotensi membawa konsekuensi hukum dan administratif bagi Gubernur sendiri.

Keputusan Gubernur Nomor 201/26/VII/2025, yang diteken pada Juli 2025, secara eksplisit memuat instruksi bahwa ASN wajib menyebarkan 95 persen informasi resmi pemerintah melalui kanal pribadi seperti WhatsApp dan Facebook. Bila tidak dipenuhi, TPP ASN bulan berikutnya akan ditunda. Kebijakan tersebut langsung diberlakukan tanpa mekanisme partisipatif dan tanpa dasar hukum yang kuat.

Pelanggaran Hukum Secara Spesifik

Kebijakan ini dinilai melanggar sedikitnya lima regulasi utama, baik di level undang-undang maupun konstitusi.

Pertama, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, khususnya Pasal 3 huruf c dan Pasal 10 ayat (1). ASN wajib netral dan dikelola berdasarkan asas legalitas serta akuntabilitas. Pemaksaan aktivitas media sosial berbasis instruksi kepala daerah dengan sanksi finansial bertentangan dengan prinsip netralitas dan proporsionalitas dalam manajemen ASN.

Kedua, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Pasal 20 mewajibkan adanya persetujuan eksplisit dalam penggunaan data pribadi. Pemaksaan penggunaan akun pribadi ASN untuk kepentingan komunikasi negara merupakan bentuk pemrosesan data pribadi secara tidak sah. Pasal 65 UU PDP bahkan membuka kemungkinan sanksi pidana administratif terhadap pelaku yang memproses data pribadi tanpa hak.

Baca Juga :  Pemerintah Berlakukan Kenaikan PPN 12% Mulai 1 Januari 2025

Ketiga, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 5 huruf a dan b mewajibkan setiap peraturan memiliki kejelasan tujuan dan kesesuaian jenis serta muatan. Keputusan Gubernur bukanlah instrumen hukum yang sah untuk memuat sanksi keuangan. Pengaturan pemotongan TPP tanpa dasar Perda atau Peraturan Pemerintah adalah bentuk abuse of regulation.

Keempat, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 65 ayat (1) menegaskan kepala daerah hanya dapat membuat kebijakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak ada satu pun ketentuan dalam PP maupun Permenpan yang memberi Gubernur kewenangan untuk menetapkan aktivitas medsos ASN sebagai indikator pencairan TPP.

Kelima, UUD 1945, Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28F, yang menjamin hak atas perlindungan diri pribadi dan kebebasan komunikasi. Akun pribadi ASN adalah bagian dari hak privat, dan negara tidak berwenang mengatur isinya kecuali melalui mekanisme hukum formal dan transparan.

Risiko Hukum dan Administratif Gubernur

Dari aspek hukum administratif, Gubernur dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena menerbitkan keputusan yang menimbulkan kerugian terhadap hak ASN tanpa dasar hukum sah. Selain itu, Mahkamah Agung dapat melakukan uji materiil terhadap Keputusan Gubernur bila dianggap bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi.

Baca Juga :  Pengajian Cabang Tatanga Hadirkan Sekretaris Wilayah Muhammadiyah

Dari aspek pelanggaran terhadap prinsip pengelolaan ASN, Komisi ASN dapat melakukan klarifikasi, dan jika terbukti melanggar prinsip merit sistem, dapat merekomendasikan pembatalan kebijakan serta pemberian sanksi etik terhadap kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).

Ombudsman RI juga memiliki kewenangan untuk menyelidiki dugaan maladministrasi dan menyampaikan rekomendasi hukum atas kebijakan yang melanggar asas pelayanan publik. Komnas HAM pun dapat menerima aduan atas dugaan pelanggaran hak digital dan komunikasi ASN.

Bahkan dari sisi legislatif, DPRD Provinsi Gorontalo memiliki dasar kuat untuk memulai hak angket sebagaimana diatur dalam Pasal 172 UU Pemerintahan Daerah. Jika DPRD membuktikan adanya pelanggaran hukum dan penyalahgunaan kewenangan, maka dapat diteruskan menjadi usulan pemberhentian kepala daerah ke Mendagri.

Komunikasi Pemerintah atau Pencitraan Personal?

Masalah ini semakin mencolok karena data media menunjukkan lonjakan ekspos Gubernur secara personal, sementara eksposur institusi pemerintahannya stagnan. Dalam periode 2–18 Juli 2025, Gubernur Gorontalo tercatat dalam 538 pemberitaan—posisi ke-11 nasional. Namun Provinsi Gorontalo secara kelembagaan hanya muncul dalam 4.532 berita, peringkat ke-27 dari 38 provinsi.

Baca Juga :  BMKG Imbau Warga Gorontalo Tetap Tenang, Gempa Kamchatka Berpotensi Tsunami Rendah

“Kalau Gubernurnya naik pesat tapi institusinya tenggelam, lalu ASN dipaksa ikut menyebar informasi, maka ini bukan lagi komunikasi pemerintahan. Ini pola pencitraan personal yang menggunakan birokrasi sebagai alat,” ujar praktisi hukum Salahudin Pakaya.

Ia menegaskan, pemaksaan ASN menjadi corong komunikasi Gubernur bukan hanya inkonstitusional, tetapi juga membuka ruang represi dalam birokrasi. “Hari ini ASN diwajibkan posting, besok mereka bisa dipaksa menyebarkan narasi politik. Semua diawali dari satu Keputusan Gubernur yang melanggar hukum,” tegasnya.

Keputusan Gubernur Gorontalo terkait kewajiban ASN menyebarkan informasi lewat akun pribadi dengan sanksi TPP bukan sekadar kebijakan keliru. Ini adalah kebijakan yang cacat hukum, melanggar konstitusi, dan menyalahi sistem hukum administrasi negara. Jika tidak segera dicabut, Gubernur berpotensi berhadapan dengan gugatan hukum, pengawasan etik, serta penyelidikan legislatif atas dugaan penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam sistem demokrasi yang sehat, ruang privat warga negara, termasuk ASN, tidak boleh diatur oleh kekuasaan eksekutif lewat aturan sepihak. Negara hukum tidak boleh membenarkan pemotongan hak keuangan hanya karena seorang pegawai tidak memposting perintah Gubernur. Jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden berbahaya bagi masa depan birokrasi Indonesia.

**Klik Channel WhatsApp Ulanda.id untuk membaca berita pilihan menarik lainnya langsung di ponselmu.

Example floating