ULANDA.ID — Meski Pemerintah Korea Utara terus menggencarkan larangan terhadap pengaruh budaya pop Korea Selatan (Hallyu), para remaja dan pemuda di negara tersebut justru makin banyak menyerap gaya bahasa dari drama Korea dan lagu K-pop dalam percakapan sehari-hari.
Baru-baru ini, empat pemuda berusia 20-an dari Kota Chongjin, Provinsi Hamgyong Utara, dilaporkan ditangkap oleh aparat keamanan setelah ketahuan menggunakan dialog khas drama Korea saat berbicara. Penangkapan itu dilakukan menyusul laporan seorang warga yang mendengar percakapan mereka.
“Anak muda tahu risikonya. Saat acara resmi, mereka hati-hati. Tapi saat bersama teman, mereka berbicara seperti karakter drama Korea tanpa rasa takut,” kata seorang sumber kepada Daily NK, dikutip Kamis (24/7/2025).
Potensi Hukuman Berat
Para pemuda yang kini dalam interogasi oleh Kementerian Keamanan Negara itu berisiko dijatuhi hukuman kerja paksa selama enam bulan hingga satu tahun. Pemerintah Korea Utara mengacu pada Pasal 41 Undang-Undang Jaminan Pendidikan Pemuda (2021), yang melarang keras penggunaan “gaya bahasa asing” yang tidak sesuai dengan norma nasional.
Namun, larangan tersebut tampaknya tidak cukup ampuh meredam gelombang budaya dari Negeri Ginseng. Kata-kata seperti oppa (kakak laki-laki), jagiya (sayang), daebak (hebat), hingga jjokpallinda (malu) kerap terdengar di kalangan muda, sebagai bentuk simbolis perlawanan terhadap pembatasan pemerintah.
“Gaya bicara dari Korea Selatan terasa alami bagi anak-anak muda karena mereka tumbuh bersama konten hiburan itu,” ujar sumber yang sama.
Gaya Bahasa Jadi Simbol Identitas
Di kawasan utara seperti Hamgyong dan Ryanggang yang dikenal memiliki dialek khas, remaja kini justru lebih menyukai aksen Korea Selatan yang dinilai lebih halus dan ramah. Pergeseran ini menunjukkan bagaimana bahasa bisa menjadi medium pembentukan identitas baru bagi generasi muda.
“Bagi anak muda, berbicara seperti dalam drama Korea bukan sekadar tren. Itu bentuk pelarian dari kenyataan,” ucap salah satu warga Chongjin.
Namun, fenomena ini juga melahirkan kekhawatiran. Banyak orang tua cemas anak-anak mereka akan menjadi target aparat karena alasan sepele.
“Saya takut anak saya ditangkap hanya karena bercanda dengan gaya drama Korea. Padahal kami sudah cukup repot dengan urusan makan sehari-hari. Sekarang ditambah rasa cemas ini,” kata seorang ibu di Kota Hoeryong.
Budaya Populer Tak Terbendung
Fenomena ini memperlihatkan bahwa budaya populer, terutama yang menyebar melalui media digital, tidak mudah dibendung meski berada di bawah sistem pemerintahan yang sangat represif. Gaya bicara, dialog, hingga ekspresi khas dari drama Korea menjelma menjadi simbol perlawanan diam-diam dan solidaritas antargenerasi muda.
“Sekarang sulit menghentikan pengaruh itu. Sudah menyebar terlalu luas,” tutup sumber tersebut.