ULANDA.ID I Jakarta, 20 Desember 2024 – Mahkamah Agung (MA) menolak upaya Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh tujuh terpidana dalam kasus Vina Cirebon dan Eki yang sempat menghebohkan pada tahun 2016. Keputusan ini diambil setelah MA menilai tidak adanya kekhilafan dalam putusan hakim sebelumnya dan ketiadaan novum atau bukti baru yang dianggap relevan untuk membuka kembali kasus ini.
Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa seluruh keputusan yang diambil oleh majelis hakim pada 2016 telah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Hakim MA menegaskan bahwa proses persidangan telah mengacu pada undang-undang dan tidak ditemukan alasan yang cukup kuat untuk mengubah putusan tersebut.
Sebelumnya, tim kuasa hukum dari tujuh terpidana menyerahkan bukti baru berupa rekaman percakapan yang disebut melibatkan para pihak dalam kasus tersebut. Namun, MA menilai bukti tersebut tidak memenuhi kriteria novum yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan PK. Rekaman tersebut dianggap tidak memiliki kekuatan hukum yang cukup untuk membantah fakta-fakta yang sudah dipertimbangkan dalam putusan sebelumnya.
Pengacara para terpidana Oto Hasibuan menyatakan kekecewaan atas putusan tersebut dan berencana mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden sebagai langkah terakhir untuk mencari keadilan bagi klien mereka.
Baca Juga : Adian Napitupulu: Pilkada DPRD, Hak Rakyat Jangan Direnggut
Dengan ditolaknya PK ini, tujuh terpidana akan tetap menjalani hukuman sesuai dengan putusan sebelumnya. Keputusan ini sekaligus menegaskan komitmen MA dalam menjaga independensi dan profesionalitas lembaga peradilan di Indonesia.
Sementara itu, para pengamat hukum memberikan pandangan beragam terhadap keputusan ini. Sebagian mendukung sikap MA yang konsisten dengan prinsip finalitas putusan, namun ada juga yang menyoroti perlunya mekanisme evaluasi yang lebih mendalam terhadap bukti-bukti baru yang diajukan dalam proses PK.
Kasus Vina Cirebon dan Eki sendiri sejak awal memang menjadi perhatian publik karena kompleksitas perkaranya dan dampak sosial yang ditimbulkan. Penolakan PK ini menandai akhir dari proses hukum di pengadilan, meski tidak menutup kemungkinan adanya upaya non-yudisial dari pihak terpidana.
Kasus ini pun menjadi pengingat pentingnya transparansi, integritas, dan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum, baik di tingkat pengadilan rendah maupun di tingkat tertinggi seperti Mahkamah Agung./rA81