Adveristing
Example 325x300
Opini

Tifa Mane dan Kembalinya Jejak Kepemimpinan Perempuan Bolango

×

Tifa Mane dan Kembalinya Jejak Kepemimpinan Perempuan Bolango

Sebarkan artikel ini

Oleh : Agusrian Thanta (Angkatan 01 P3IKM)

‎Semalam, di aula ruangan yang sederhana, saya menjadi saksi lahirnya sebuah babak baru. Musyawarah Besar Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia Kota Molibagu (P3IKM) digelar dengan penuh dinamika. Perdebatan mengalir, argumentasi saling bersahut, kadang tajam namun selalu kembali pada semangat kekeluargaan. Inilah ciri organisasi paguyuban ini. tempat di mana perbedaan pandangan justru menjadi ladang subur untuk belajar menghargai, mendengar, dan memimpin.

‎Tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Setelah 1 dekade berdiri, dan setiap tahun nahkoda silih berganti, P3IKM akhirnya memiliki seorang perempuan sebagai ketua. Adalah Tri Fastifa Nafasya Mane. Peristiwa ini sederhana di mata sebagian orang, namun sesungguhnya sarat makna bagi sejarah organisasi dan, lebih luas lagi, bagi masyarakat molibagu khususnya Bolango.

‎Ketika ia menyampaikan visi dan misi, seorang senior mengajukan pertanyaan yang menusuk, “Siapa yang menyuruh kamu maju menjadi calon ketua?” Pertanyaan itu bisa saja membuat seorang kandidat tergagap. Tetapi Tifa menjawab tegas, “Ini atas keinginan saya sendiri. Saya ingin terus belajar sekaligus membawa organisasi ini menjadi lebih baik dengan cara saya sendiri.” Jawaban yang lugas, penuh kesadaran diri, dan mencerminkan kemandirian berpikir. dua hal yang menjadi fondasi seorang pemimpin sejati.

Baca Juga :  Wajah Baru Ekonomi’ di Jalan Eks. Panjaitan dan Jalan Eks. Andalas Gorontalo

‎Saya pribadi tidak mengenal sosok yang akrab disapa “Tifa” ini terlalu dekat, jarak angkatan kita terpaut cukup jauh. Tetapi dari berbagai kegiatan P3IKM yang saya amati, ia selalu hadir, selalu berkontribusi, dan tidak pernah setengah hati. Konsistensi semacam ini sering kali jauh lebih berharga daripada karisma sesaat atau retorika memikat. Kepemimpinan, pada akhirnya, dibangun dari kebiasaan hadir dan memberi, bukan hanya memerintah atau berbicara lantang.

‎‎Di titik inilah saya teringat pada Daopeyago. pemimpin perempuan legendaris etnis Bolango. Berabad silam, Daopeyago memimpin kaumnya mengembara ke pesisir selatan Sulawesi Utara, termasuk wilayah Molibagu yang saat itu masih asing. Ia memimpin dengan keberanian yang jarang dimiliki perempuan di zamannya, memadukan ketegasan dan naluri melindungi. Cerita tentangnya bertahan dari mulut ke mulut, menjadi simbol kekuatan yang menembus batas waktu.

‎Hari ini, nama Daopeyago seolah hidup kembali dalam sosok-sosok muda seperti Tifa. Bolango pernah memiliki pemimpin perempuan yang disegani, dan kini, kita merindukan kembali figur-figur seperti itu. perempuan yang tidak hanya hadir di ruang domestik, tetapi juga berdiri di garda depan, mengarahkan langkah komunitasnya menuju masa depan yang lebih baik.

Baca Juga :  Tiga Tindakan Gubernur Gorontalo Berpotensi Langgar Hukum, Publik Desak Evaluasi

‎Kita tidak bisa menutup mata bahwa kepemimpinan perempuan Bolango hari ini masih minim. Banyak yang memilih jalur aman, menghindari sorotan publik, atau terkendala oleh konstruksi sosial yang membatasi ruang gerak mereka. Padahal, seperti yang pernah diungkapkan R.A. Kartini, “Banyak hal yang dapat menjatuhkanmu. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri.” Semangat ini mestinya menjadi bahan bakar bagi para perempuan muda untuk tidak ragu mengambil peran.

‎Dalam setiap komunitas, keberadaan pemimpin perempuan bukan hanya simbol kesetaraan, melainkan kebutuhan strategis. Mereka membawa perspektif berbeda, sensitivitas terhadap isu-isu sosial, serta kemampuan merajut kohesi yang sering kali luput dari pemimpin laki-laki. Hillary Clinton mantan menlu AS dalam satu kesempatan pernah berujar, “Perempuan adalah cadangan terbesar bakat yang belum dimanfaatkan di dunia.” Maka, membiarkan potensi itu tidak berkembang adalah kehilangan yang terlalu besar.

‎Tifa Mane, mungkin tanpa menyadari beban sejarah di pundaknya, telah menyalakan obor kecil. Ia menunjukkan bahwa perempuan Bolango punya kapasitas untuk memimpin. tinggal keberanian yang perlu dipupuk dan kemampuan yang diasah. Meminjam Margaret Thatcher, “Jika Anda ingin sesuatu dikatakan, tanyakan pada pria. Jika Anda ingin sesuatu dilakukan, tanyakan pada wanita.” Kepemimpinan perempuan adalah tentang kerja nyata, bukan hanya tentang posisi.

Baca Juga :  Sugiono dan Arsitektur Sunyi Kekuasaan Prabowo

‎Semoga langkah Tifa ini menjadi pelecut semangat bagi kader-kader perempuan lainnya, bukan hanya di P3IKM, tetapi di seluruh wilayah etnis ini. Kita butuh lebih banyak perempuan yang berani tampil di berbagai sektor—politik, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, dan gerakan sosial. Kader-kader perempuan inilah yang kelak akan memperkaya cara pandang, memperluas cakrawala organisasi, dan menjaga warisan kepemimpinan yang pernah dibangun oleh tokoh-tokoh seperti Daopeyago.

‎‎Kita memang tidak tahu bagaimana babak kepemimpinan Tifa Mane akan berakhir. Tetapi sejarah mencatat, semalam. Di aula balai desa yang juga kebetulan bernama daopeyago. sebuah tongkat estafet berpindah dari tangan seorang lelaki ke tangan sosok perempuan muda. Dan siapa tahu, di masa depan, anak-anak muda Bolango akan menceritakan peristiwa ini seperti kita menceritakan Daopeyago. sebagai awal dari kembalinya tradisi kepemimpinan perempuan yang kuat, visioner, dan membumi.

**Klik Channel WhatsApp Ulanda.id untuk membaca berita pilihan menarik lainnya langsung di ponselmu.

Example floating