Penulis: Connie Rahakundini Bakrie
(Guru Besar Hubungan Internasional, Departement of World Politics, St. Petersburg State University, Russia)
Tulisan ini membahas transformasi Vatikan dari otoritas moral menjadi aktor yang halus namun berpengaruh dalam negosiasi perdagangan global. Dengan berfokus pada pemberian amnesti politik kepada Hasto Kristiyanto dan terpilihnya Paus asal Amerika, tulisan ini menelusuri bagaimana diplomasi berbasis agama mempengaruhi perundingan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat. Penulis berargumen bahwa Takhta Suci, di bawah kepausan yang berafiliasi dengan Amerika, tengah menegaskan kembali peran strategisnya sebagai simpul kekuatan lunak—mempengaruhi strategi diplomasi dan ekonomi global melalui jalur non-tradisional.
Agama sebagai Jalur Diplomasi
Agama sering dipisahkan dari kebijakan ekonomi, padahal sejak lama memengaruhi perilaku negara. Konsep soft power dari Joseph Nye menyatakan bahwa pengaruh tidak hanya muncul melalui kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga melalui daya tarik, nilai-nilai, dan legitimasi (Nye, hlm. 5). Vatikan, dengan pengaruh moral globalnya, selama ini terlibat dalam diplomasi dari pinggiran. Namun, dinamika unik seputar pemberian amnesti politik kepada tokoh Indonesia Hasto Kristiyanto dari Presiden Prabowo menandai titik balik penting—mengungkapkan masuknya Vatikan secara halus ke dalam diplomasi perdagangan internasional.
Penangkapan dan Amnesti Hasto Kristiyanto: Sebuah Retakan Simbolik
Pada Desember 2024, penangkapan Hasto Kristiyanto pada malam Natal—tidak lama setelah kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia—menimbulkan kegelisahan di kalangan minoritas Kristen di Indonesia. Sebagaimana dicatat oleh Rahardjo, penangkapan ini dipandang sebagai langkah politis yang tidak etis dan tidak menghormati waktu suci keagamaan. Dalam pandangan Rahardjo dan saya pribadi, keresahan yang muncul di kalangan tokoh Katolik dan Protestan tidak berakar pada aspek legal kasus Hasto, melainkan pada waktu dan simbolisme religiusnya. Meskipun Vatikan tidak melayangkan protes resmi, kekecewaan terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terasa sangat kuat.
Ketika Presiden Prabowo memberikan amnesti kepada Hasto, banyak pihak menafsirkan langkah tersebut bukan hanya sebagai koreksi hukum, melainkan juga sebagai bentuk pemulihan hubungan diplomatik. Amnesti ini dilihat sebagai permintaan maaf simbolik dan undangan untuk membangun kembali kepercayaan dengan Gereja. Dengan demikian, keputusan politik dalam negeri memiliki dampak yang lebih luas—memulihkan legitimasi religius dan membuka jalur diplomasi baru di ranah internasional.
Paus Amerika dan Peluang Global Baru
Pada April 2025, Paus Fransiskus wafat. Konklaf Vatikan pun dimulai di Roma, dengan prediksi proses pemilihan yang panjang dan penuh perdebatan. Namun secara mengejutkan, konklaf memilih Paus asal Amerika dalam waktu hanya 26 jam—proses tercepat dalam sejarah modern (Vatican News). Hasil ini sebagian dipengaruhi oleh aksi teatrikal mantan Presiden AS Donald Trump, yang muncul di media dengan mengenakan jubah Paus sambil berkata, “Saya ingin menjadi Paus.” Meskipun awalnya dianggap lelucon, pernyataan ini rupanya bergaung hingga ke dalam konklaf.
Menurut sumber internal Gereja, pernyataan Trump membawa tiga gagasan strategis:
1. Gereja Katolik perlu mempertimbangkan secara serius untuk memilih Paus dari Amerika sebagai cerminan realitas geopolitik.
2. Di bawah kepemimpinan AS, Gereja dapat memainkan peran penting dalam diplomasi perdagangan global, terutama di tengah proteksionisme ekonomi AS.
3. Gereja Katolik di masing-masing negara dapat berfungsi sebagai perantara antara pemerintah lokal dan Vatikan dalam isu-isu ekonomi.
Tawaran-tawaran ini membentuk kesadaran politik dalam konklaf. Hasilnya: seorang kardinal asal Amerika terpilih sebagai Paus, membuka jalur diplomasi baru antara Vatikan dan Gedung Putih, khususnya dalam isu tarif dan perjanjian dagang internasional.
Strategi Indonesia dalam Menyambut Vatikan
Pasca konklaf, delegasi Indonesia segera dikirim ke Amerika Serikat untuk membuka putaran kedua negosiasi dagang. Meskipun tidak ada dokumen resmi yang menyebut keterlibatan gereja, para analis mencatat meningkatnya keselarasan antara kepentingan Indonesia dan Vatikan. Delegasi ini bertemu dengan tokoh-tokoh penting dalam lingkaran politik dan bisnis AS, termasuk mereka yang berafiliasi erat dengan kubu Trump.
Dalam hitungan minggu, Indonesia berhasil menurunkan tarif impor dari 19% menjadi 10%—pencapaian signifikan bagi negara berkembang di tengah kebijakan ekonomi nasionalis Amerika. Beberapa waktu kemudian, amnesti terhadap Hasto Kristiyanto diumumkan. Selain sebagai manuver politik, keputusan ini juga dimaknai sebagai langkah penutup yang memperkuat kembali aliansi Indonesia dengan Gereja Katolik.
Rangkaian peristiwa ini membuka jalan bagi apa yang kini disebut sebagai “Negosiasi Tahap Kedua”—upaya lanjutan untuk menurunkan tarif hingga 0%, dengan Vatikan sebagai koridor diplomatik tidak resmi. Gereja, yang sebelumnya hanya dianggap sebagai institusi spiritual, kini hadir sebagai simpul strategis dalam peta perdagangan global.
Vatikan sebagai Aktor Diplomatik Abad ke-21
Sejak lama, Takhta Suci telah memainkan peran penting dalam mediasi Perang Dingin, rekonsiliasi di Amerika Latin, serta promosi HAM global (Philpott, hlm. 46). Yang membedakan dalam kasus Indonesia adalah keterlibatan eksplisit antara legitimasi agama dan kebijakan perdagangan. Terpilihnya Paus Amerika memperkuat kembali jalur diplomasi Vatikan dan menjadikannya lebih terbuka bagi aktor-aktor strategis negara.
Evolusi ini sejalan dengan model soft power dari Nye, di mana legitimasi dan pengaruh menjadi kunci, bukan paksaan (Nye, hlm. 10). Ketika Gereja mulai terlibat dalam urusan ekonomi, ia tidak hanya menawarkan validasi moral, tetapi juga akses strategis.
Bagi Indonesia, peluang ini sangat jelas: melalui diplomasi keagamaan, sebuah model baru keterlibatan luar negeri terbentuk—yang menyelaraskan kepentingan nasional dengan narasi etis. Dengan mempererat hubungan dengan Vatikan, Indonesia menempatkan dirinya secara strategis dalam sistem global yang tengah berubah.
Penutup: Antara Iman dan Perdagangan Bebas
Kasus amnesti Hasto Kristiyanto, keberhasilan negosiasi tarif, dan terpilihnya Paus Amerika, merupakan studi kasus menarik mengenai kekuatan lunak masa kini. Vatikan, yang selama ini hanya menjadi aktor latar, kini melangkah maju—tidak hanya dalam mediasi teologis atau perdamaian, tetapi juga dalam diplomasi ekonomi.
Perkembangan ini menantang batas konvensional antara agama dan politik, serta menunjukkan masa depan di mana lembaga keagamaan membantu menavigasi negosiasi perdagangan yang kompleks. Indonesia, melalui keterlibatan aktif dengan Gereja Katolik, mewakili tren baru: munculnya diplomasi spiritual sebagai instrumen realpolitik.
Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh nasionalisme dan polarisasi, Vatikan bisa jadi adalah satu dari sedikit pusat legitimasi transnasional yang tersisa. Keterlibatannya kembali dalam diplomasi perdagangan global berpotensi mengubah paradigma hubungan internasional, terutama bagi negara berkembang yang mencari keadilan dan peluang.
Daftar Pustaka
Nye, Joseph S. Soft Power: The Means to Success in World Politics. PublicAffairs, 2004.
Philpott, Daniel. The Politics of Past Evil: Religion, Reconciliation, and the Dilemmas of Transitional Justice. University of Notre Dame Press, 2006.
Rahardjo, Bayu. “Penangkapan Hasto di Malam Natal Dinilai Lukai Etika Politik dan Agama.” Kompas, 26 Desember 2024.
“Vatican Elects First American Pope in Fastest Conclave in History.” Vatican News, 8 Mei 2025.