ULANDA.ID – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa seluruh kebijakan Kementerian Kesehatan pada 2025 dirancang berdasarkan kepentingan masyarakat luas. Hal ini disampaikannya menanggapi kritik dari ratusan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) terkait arah transformasi sistem kesehatan nasional.
“Kementerian Kesehatan hanya membuat kebijakan yang berbasis pada kepentingan masyarakat,” kata Menkes Budi dalam diskusi publik bertajuk “Menkes Budi & Kepala PCO Hasan Nasbi Bicara Visi Kesehatan Era Presiden Prabowo”, Sabtu (17/5/2025).
Budi menjelaskan bahwa sektor kesehatan memiliki banyak pemangku kepentingan, mulai dari masyarakat, rumah sakit, industri farmasi, organisasi profesi, hingga lembaga pemerintahan. Namun, ia menekankan bahwa masyarakat—yang berjumlah 280 juta jiwa—menjadi fokus utama dari setiap kebijakan.
“Memang banyak pihak terlibat. Tapi stakeholder yang paling besar adalah rakyat Indonesia. Maka, semua kebijakan kami selalu mengutamakan pelayanan kepada mereka,” ujarnya.
Ia menambahkan, Kemenkes tidak memprioritaskan kepentingan internal kementerian, asosiasi profesi, afiliasi institusi pendidikan, atau industri kesehatan secara sempit.
“Kami tetap mempertimbangkan semua masukan, termasuk dari rumah sakit dan industri farmasi, namun arah kebijakan kami jelas: melayani rakyat,” tegasnya.
Transformasi Sistem Kesehatan dan Dampaknya
Menkes Budi juga menyampaikan bahwa proses transformasi sistem kesehatan sering kali menimbulkan ketidaknyamanan bagi sejumlah pihak. Namun, perubahan itu dinilai perlu demi menciptakan ekosistem kesehatan yang lebih berkeadilan dan berorientasi pada pelayanan publik.
“Pergantian kepentingan ini bisa menimbulkan perasaan tidak nyaman. Dulu mungkin ada yang merasa lebih leluasa, tapi sekarang semuanya digeser demi kepentingan masyarakat,” jelasnya.
Respon terhadap Kritik Guru Besar FKUI
Menanggapi keluhan sejumlah guru besar FKUI yang merasa sulit menjalin komunikasi dengan Kemenkes, Budi menyatakan bahwa pihaknya selama ini melibatkan banyak akademisi dari berbagai Fakultas Kedokteran di seluruh Indonesia dalam penyusunan kebijakan.
“Kami mengajak banyak guru besar dari berbagai universitas, bukan hanya satu kampus. Mereka berperan penting dalam memberikan masukan dan menjalankan program pemerintah,” ungkapnya.
Menurut Budi, keterlibatan para akademisi membuktikan bahwa kebijakan kesehatan tidak disusun secara tertutup, melainkan berdasarkan pendekatan kolaboratif yang inklusif.