ULANDA.ID I Jakarta – Politisi PDIP, Adian Napitupulu, dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap wacana pengubahan mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari sistem pemilihan langsung menjadi pemilihan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Menurutnya, hal ini akan merenggut hak rakyat untuk menentukan pemimpin mereka secara langsung.
“Hari ini, tanah rakyat diambil, kehidupan rakyat yang layak diambil. Bicara soal pertambangan dan sumber daya alam lainnya juga diambil. Sekarang, soal Pilkada, hak rakyat juga mau diambil,” ujar Adian dalam pernyataannya, Senin (19/12).
Adian menekankan bahwa alasan mahalnya biaya Pilkada sebesar Rp37,5 triliun tidak seharusnya menjadi dasar untuk mengubah sistem demokrasi yang sudah berjalan. Ia menjelaskan bahwa biaya tersebut sangat wajar mengingat besarnya wilayah Indonesia dan jumlah pemilih yang mencapai ratusan juta orang.
“Kalau 37,5 triliun itu dibagi dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT), hasilnya hanya Rp184 per orang. Itu kecil untuk sebuah negara sebesar Indonesia,” jelas Adian.
Ia juga menyoroti bahwa mahalnya biaya Pilkada lebih banyak bergantung pada masing-masing calon kepala daerah. karena ingin mendapatkan dukungan dari masyarakat berbagai macam praktek mani politik (politik uang) dilakukan. Oleh karena itu, yang seharusnya dievaluasi adalah kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai pengawas.
“KPU dan Bawaslu harus lebih efektif menjalankan tanggung jawab mereka. Jika biaya Pilkada membengkak, itu bukan alasan untuk mengubah sistem demokrasi dari langsung menjadi tidak langsung,” tambahnya.
Baca Juga : PDIP Resmi Keluarkan SK Pemecatan Jokowi dan Keluarganya
Sementara itu, pengamat politik Adi Prayitno mengemukakan pandangannya terkait efisiensi biaya penyelenggaraan Pilkada dan Pemilu. Menurutnya, salah satu solusi untuk menekan biaya adalah menyatukan regulasi Pilkada dan Pemilu dalam satu undang-undang. Ia juga menyarankan agar penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu bersifat ad hoc untuk mengurangi beban anggaran.
“Kalau undang-undang Pilkada dan Pemilu bisa disatukan, dan penyelenggara seperti KPU dan Bawaslu dibuat ad hoc saja, itu bisa menghemat biaya. Kuncinya ada di pemerintah, bukan di DPRD,” ujar Adi.
Adi menyoroti bahwa biaya mahal dalam Pilkada bukan hanya soal penyelenggaraan, tetapi juga karena adanya praktik politik uang. Ia menegaskan bahwa yang membuat Pilkada mahal adalah para calon yang terpaksa mengeluarkan biaya besar untuk memenuhi tuntutan money politics.
“Solusinya sederhana, harus ada prinsip haram mengharamkan. Segala bentuk mahar politik dan money politics harus dinyatakan haram hukumnya. Selain itu, harus ada sanksi tegas bagi yang melanggar,” tambahnya.
Adi juga menekankan pentingnya komitmen dari pemerintah dan partai politik untuk menegakkan aturan yang lebih ketat terkait larangan politik uang. Ia mengingatkan bahwa demokrasi yang sehat tidak hanya tentang hak memilih, tetapi juga tentang integritas proses politik itu sendiri.
Diskursus mengenai sistem Pilkada dan biaya politik ini terus menjadi perhatian publik. Baik Adian Napitupulu maupun Adi Prayitno sepakat bahwa yang utama adalah menjaga hak dan kedaulatan rakyat, serta memperbaiki tata kelola penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada tanpa mencederai prinsip demokrasi.
Sebelumnya wacana pilkada dipilih oleh Dprd adalah pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang disampaikan disaat hari ulang tahun 60 partai Golkar,”/mfT81.